PROPOSAL
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL
DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR
SISWA DI SMA KHOZAINUL ULUM KECAMATAN
KALITENGAH KABUPATEN LAMONGAN
OLEH:
RICO ANDRI VIRDANA
NIM: 09.02.01.0589
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mempertahankan kehidupan
manusia ditengah perubahan yang terjadi, belajar memainkan peranan penting
dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia ditengah persaingan yang
sangat ketat antar kelompok yang berbeda-beda. Karena itulah, proses belajar
yang baik pada tiap-tiap kelompok selalu diharapkan mampu memberi hasil yang
baik pula (Muhibbin Syah, 2007).
Dunia pendidikan selalu
mengenal, belajar sebagai kegiatan yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraannya.
Karena itu, kegiatan pembelajaran dalam dunia pendidikan haruslah memiliki
tujuan yang jelas, dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan di Indonesia adalah untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (M. Djumransyah, 2006).
Berdasarkan hasil evaluasi
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam
hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan
dan pendekatan belajar. Beberapa faktor tersebut dapat menjadi faktor-faktor
penghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan. Perbedaan
pada berbagai faktor tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar yang
secara umum dapat terjadi pada setiap siswa yang ditandai dengan menurunnya hasil
belajar secara akademik. Karena kesulitan belajar ini, siswa tidak mampu untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga siswa mengalami hambatan-hambatan
dalam mencapai keberhasilannya. Kesulitan belajar pada siswa biasanya nampak
jelas dari menurunnya kinerja atau prestasi belajarnya. Kesulitan belajar ini
dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa
seperti kesukaan berteriak teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi,
sering tidak masuk kelas, dan sering minggat dari sekolah (Muhibbin Syah,
2007).
Pada tahun 1997, dalam penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat dikatakan bahwa 1,8 % dari anak usia sekolah mengalami kesulitan
belajar, dengan kesulitan membaca sebagai kesulitan belajar utama. Di Indonesia
pada tahun 1996 Pusbang Kurrandik (Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan) Balitbang Dikbud melakukan penelitian terhadap 4994 siswa sekolah
dasar kelas I – VI di provinsi Jabar, Lampung, Kalbar dan Jatim,
mendapatkan hasil bahwa 696 dari siswa SD (13,94 %) tersebut mengalami
kesulitan belajar umum, dan 479 diantaranya mengalami kesulitan membaca
(disleksia). Hal ini memberikan gambaran bahwa kesulitan belajar di kalangan
siswa SD perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak, baik dari dunia
pendidikan, medik, psikologik, orang tua dan pihak lainnya yang terkait, karena
tahap sekolah dasar merupakan tahap preliminer dalam mencapai tahap pendidikan
ke jenjang berikutnya (Winny Veronica Noviyanti W, 2010).
Berdasarkan survey awal yang
dilakukan di SMA Khozainul Ulum dengan wawancara tehadap guru bimbingan
konseling. Peneliti mengumpulkan 10 siswa dan mewawancarai untuk memastikan
bahwa 7 siswa 70 % mengalami kesulitan belajar, dan 3 siswa 30% tidak mengalami
kesulitan belajar.
Kesulitan dalam belajar
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidakmampuan membagi
waktu belajar dan bermain, fasilitas belajar di rumah yang tidak menunjang
kegiatan belajar siswa, adanya keinginan siswa untuk masuk di kelas penjurusan
tetapi tidak sesuai dengan kemampuan, siswa tidak menyukai pelajaran tertentu
dan kondisi kesehatan yang tidak mendukung (Mulyono Abdurrahman, 2003).
Akibat
dari kesulitan belajar ada beberapa gejala sebagai indikator
adanya kesulitan belajar siswa dapat dilihat dari petunjuk-petunjuk
berikut: 1) Menunjukkan prestasi belajar yang rendah, di bawah rata-rata nilai
yang dicapai oleh kelompok siswa di kelas. 2) Hasil belajar yang dicapai tidak
seimbang dengan usaha yang dilakukan. Padahal siswa sudah berusaha belajar dengan
keras, tetapi nilainya selalu rendah. 3) Siswa lambat dalam mengerjakan
tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan kawan-kawannya dalam segala
hal. Misalnya mengerjakan soal-soal dalam waktu lama baru selesai, dalam
mengerjakan tugas-tugas selalu menunda waktu. 4) Siswa menunjukkan sikap yang
kurang wajar, seperti acuh tak acuh, berpura-pura, berdusta, mudah tersinggung,
dan sebagainya. e. Siswa menunjukkan tingkah laku yang tidak seperti biasanya
ditunjukkan kepada orang lain. Dalam hal ini misalnya siswa menjadi pemurung,
pemarah, selalu bingung, selalu sedih, kurang gembira, atau mengasingkan diri
dari kawan-kawan sepermainan. 5) Siswa yang tergolong memiliki IQ tinggi,
secara potensial mereka seharusnya meraih prestasi belajar yang tinggi, tetapi
kenyataannya mereka mendapatkan prestasi belajar yang rendah. 6) Anak didik
yang selalu menunjukkan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian besar mata
pelajaran, tetapi di lain waktu prestasi belajarnya menurun drastis (Syaiful
Bahri Djamarah, 2003).
Upaya untuk mengatasi stres
yang ada, siswa membutuhkan pengendalian terhadap salah satu faktor internal
yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan belajar yaitu emosi. Pengendalian
emosi tersebut dinamakan dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional
sebagai kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Daniel Goleman, 2003).
Orang-orang yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi mampu mengasimilasikan tingkat stres yang tinggi
dan mampu berada di sekitar orang-orang pencemas tanpa menyerap dan meneruskan
kecemasan tersebut. Selain itu, orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi mempunyai kualitas belas kasih, mendahulukan kepentingan orang
lain, disiplin diri, optimisme, fleksibilitas dan kemampuan memecahkan berbagai
masalah dan menangani stres (Jeanne Anne, 2004).
Kemampuan
siswa dalam mengatasi stressor tersebut berhubungan pula dengan pengetahuan.
Pengetahuan (Knowledge) merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo Soekidjo, 2007).
Dari latar
belakang diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian yaitu:
“Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Kecerdasan Emosional dalam menghadapi
Kesulitan Belajar di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten
Lamongan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan masalah sebagai
berikut: Apakah ada Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Kecerdasan Emosional
dalam menghadapi Kesulitan Belajar di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah
Kabupaten Lamongan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap
Kecerdasan Emosional dalam menghadapi Kesulitan Belajar di SMA Khozainul Ulum
Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan
1.3.2
Tujuan Khusus
1)
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan dalam menghadapi
kesulitan belaja siswa di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah
Kabupaten Lamongan.
2)
Mengidentifikasi Kecerdasan Emosional dalam mengatasi
kesulitan belajar siswa di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten
Lamongan.
3)
Menganalisis Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap
Kecerdasan Emosional dalam menghadapi Kesulitan Belajar di SMA Khozainul Ulum
Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan.
1.4 Maanfaat Penelitian
1.4.1
Teoritis
Merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya dalam hal tingkat pengetahuan dengan kecerdasan emosional untuk
mengatasi kesulitan belajar. Sebagai sarana pembanding bagi dunia ilmu
pengetahuan alam memperkaya infrormasi tentang hubungan tingkat pengetahuan
dengan kecerdasan emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa.
1.4.2
Praktis
1)
Bagi sekolah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi
tentang tingkat pengetahuan dan Kecerdasan
Emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa, dan dapat dijadikan sebagai
sarana pendidikan.
2)
Bagi tenaga kesehatan
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam memberikan penyuluhan
pada siswa tentang
tingkat pengetahuan dengan kecerdasan emosional dalam mengalami
kesulitan belajar.
3)
Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan dapat sebagai bahan acuhan dan ide serta informasi
untuk melaksanankan penelitian lebih lanjut. Terutama penelitian tentang tingkat pengetahuan dengan kecerdasan
emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa, serta faktor-faktor yang mempengaruhi.
4)
Bagi penulis
Hasil
penelitian ini dapat menambah wawasan serta mengaplikasikan ilmu yang telah
diperoleh selama pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
Muhammadiyah Lamongan terutama dalam hal Tingkat Pengetahuan dengan Kecerdasan
Emosional dalam menghadapi Kesulitan Belajar.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
Pada bab
ini akan dibahas tentang teori yang mendasari penelitian antara lain 1) Konsep
Tingkat Pengetahuan, 2) Konsep Kecerdasan Emosional, 3) Konsep Kesulitan
Belajar, 4) Kerangka Konsep dan 5) Hipotesis
2.1 Konsep Tingkat Pengetahuan
2.1.1 Pengertian Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan
(Knowledge) merupakan hasil dari ‘‘tahu’’, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007)
Sedangkan menurut Iqbal Mubarok, Wahid dkk,
(2007) pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (belifs), tahayul (station), dan penenang yang
keliru (misinformation). Pada definisi lain disebutkan bahwa pengetahuan
merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian
setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu.
2.1.2 Proses Terjadinya Pengetahuan
Peneliti
Rogers tahun 1974 dikutip oleh Notoatmodjo, (2003) mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru (berprilaku baru), didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran)
Dimana
orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulasi (objek).
2) Interest (merasa tertarik)
Ketertarikan
terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang)
Menimbang-nimbang
terhadap baik dan tindaknya stimulus tersebut tersebut bagi dirinya. Hal ini
berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial
Didalam
subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus.
5) Adoption (adopsi)
Dimana
subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari peneliti selanjutnya Rogers
menyimpulkan bahwa perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap diatas. Apabila
penerimaan perilaku baru atau adopsi prilaku melalui proses seperti ini
didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama.
2.1.3 Tingkat Pengetahuan Didalam Domain Kognitif
Pengetahuan
atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overbehavior), pengetahuan
yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu: (Notoatmodjo,
2007).
1)
Tahu
(know)
Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu meteri yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan
dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension)
Memahami
diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpresikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah memahami terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terdapat objek yang
dipelajari.
3) Aplikasi
Diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai
aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam kontek atau situasi yang
lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan
hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem
solving cyclel) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang di
berikan.
4) Analisis (analysis)
Analisis
adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada
kaitanya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis
dapat menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan
bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulsi-formulasiyang ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi
ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.4 Ukuran Pengetahuan
Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007)
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut
(Iqbal Mubarak, 2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,
antara lain:
1) Pendidikan
Pendidikan
berarti bimbingan yang diberikan
seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.
Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah
pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikanya rendah, akan
menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nili yang baru diperkenalkan.
2) Pekerjaan
Lingkungan
pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengalaman baik
secara langsug maupun tidak langsung.
3) Umur
Dengan
bertambahnya usia seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan
psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat
kategori perubahan pertama, perubahan
ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga,
hilangnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada
aspek psikologis atau mental tarif berpikir seseorang semakin matang dan
dewasa.
4) Minat
Sebagai
suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat manjadikan
seseorang untuk mencoba dan menekuni
suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
5) Pengalaman
Suatu
kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkunganya.
Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk
melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut menyenangkan maka
secara psikologis akan timbul kesan yang mendalam dan membekas dalam emosi
kejiwaannya, dan akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam dalam kehidupanya.
6) Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan
dimana kita hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita apabila dalam
suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat
mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan
lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap
pribadi atau sikap seseorang (Syaifudin A. 2003)
7) Informasi
Kemudian
untuk memperoleh suatu informasi
dapat membantu mempercepat
seseorang untuk memperoleh pengetahuan
yang baru. Pemberian informasi dapat melalui penyuluhan atau media
komunikasi, media komunikasi, yang
banyak digunakan adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, telepon, dan
sebagainya (Iqbal Mubarak, W, dkk. 2007).
2.2 Konsep Kecerdasan
Emosional
2.2.1 Pengertian Emosi
Akar
kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa latin yang berarti
“menggerakkan, bergerak”, ditambah awalah e- untuk memberi arti
”bergerak menjauh”, yang menyiratkan bahwa kecenderungan adalah hal yang mutlak
dalam emosi. Daniel Goleman mendefinisikan bahwa emosi merupakan suatu perasaan
dan pikiran-pikiran khasnya, suatu tindakan biologis dan psikologis, dan
serangkaian tindakan untuk bertindak (Daniel Goleman, 2004).
William
James mengatakan bahwa emosi adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang
khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya. Sedangkan Crow
& Crow mengartikan bahwa emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak dalam
diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian
dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu (Alex sobur, 2003).
Emosi ialah suatu
keadaan yang kompleks yang berlangsung biasanya tidak lama yang mempunyai
komponen pada badan dan jiwa individu itu. Pada jiwa timbul keadaan terangsang
(excitement) dengan perasaan yang hebat serta biasanya juga terdapat
impuls untuk berbuat sesuatu yang tertentu. Pada badan timbul gejala-gejala dari pihak susunan saraf
vegetatif, umpamanya pada pernafasan, sirkulasi dan sekresi (W.F. Maramis,
2005).
2.2.2 Fungsi Emosi
Berkaitan
dengan pengertian di atas, Goleman dan Hammen menyebutkan setidaknya ada empat fungsi emosi,
antara lain:
1) Emosi
sebagai pembangkit energi (energizer).
2) Emosi
adalah pembawa informasi (messenger).
3) Emosi
bukan hanya sebagai pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi
juga sebagai pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal.
4) Emosi
merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
2.2.3 Ciri Emosi
Emosi
sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1) Lebih
bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengalaman dan berpikir.
2) Bersifat
fluktuatif (tidak tetap)
3) Banyak
bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Berdasarkan pengertian yang ada,
terdapat pengelompokan emosi dalam golongan-golongan
besar, antara lain: Amarah, beringas, mengamuk, benci, marah besar,
jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan dan
barangkali yang lebih hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.
1) Kesedihan:
pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak,
putus asa dan kalau menjadi patologis, depresi berat.
2) Rasa
takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada,
sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan
panik.
3) Kenikmatan:
bahagia, gembira, ringan, puas, senang, Terhibur,
bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,
kegirangan luar biasa, senang, senang sekali dan batas ujungnya adalah mania.
4) Cinta:
penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti,
hormat, kasmaran dan
kasih.
5) Terkejut:
terkejut, terkesiap, takjub
dan
terpesona.
6) Jengkel:
hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka dan mau muntah.
7) Malu:
rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur.
2.2.4
Macam Emosi
Atas
dasar arah aktivitasnya, tingkah
laku yang berhubungan dengan emosi dapat dibagi menjadi
empat macam, yaitu:
1) Marah,
orang bergerak menentang sumber frustasi
2) Takut,
orang bergerak meninggalkan sumber frustasi
3) Cinta,
orang bergerak menuju sumber kesenangan
4)
Depresi, orang berhenti menggerakkan
respon terbukanya dan mengalihkan emosi ke dalam dirinya sendiri.
2.2.5 Definisi Kecerdasan
Emosional
Selama
bertahun-tahun, teoritikus-teoritikus yang paling teguh memegang IQ pun
kadang-kadang telah mencoba memasukkan emosi ke wilayah kecerdasan, bukan hanya
melihat “emosi” dan “kecerdasan” sebagai istilah yang kontradiksi secara inhern.
Maka E.L. Trondike, ahli psikologi yang berpengaruh dalam mempopulerkan IQ
dalam artikel di Helper’s Magazine menyatakan bahwa salah satu aspek
kecerdasan emosional yaitu kecerdasan sosial (kemampuan untuk memahami orang
lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia)
merupakan suatu aspek IQ seseorang (Daniel Goleman, 2004).
Howard
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind yang menjelaskan
tentang kecerdasan ganda (multiple intelligence), ketrampilan dalam
membentuk kecerdasan emosional berada dalam wilayah kecerdasan pribadi. Gardner
memberikan ringkasan pendek tentang kecerdasan pribadi: Kecerdasan antarpribadi
adalah kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka, tenaga-tenaga penjualan yang sukses,
politisi, guru, dokter dan pemimpin keagamaan, semuanya cenderung orang-orang
yang mempunyai tingkat kecerdasan antarpribadi yang tinggi. Kecerdasan
intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam (Rumahalinda,
2012).
Kecerdasan emosional
mencangkup kemampuan memantau perasaan dan emosi sendiri maupun orang lain,
membedakannya dan menggunakan informasinya untuk memandu pikiran serta tindakan
seseorang. Reuven Bar-On menjelaskan bahwa kecerdasan emosional mencangkup
optimisme, fleksibilitas dan kemampuan menangani stres dan memecahkan berbagai
macam masalah, serta kemampuan memahami perasaan orang lain dan memelihara
hubungan-hubungan antar pribadi yang memuaskan (Jeanne Anne Craig, 2004).
2.2.6
Aspek
Kecerdasan Emosional
Daniel
Goleman mengutip Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi
dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya memperluas
kemampuan ini menjadi lima wilayah utama (Daniel Goleman, 2004).
1) Mengenali
emosi diri
Mengenali
emosi diri berhubungan dengan istilah kesadaran diri, dalam artian perhatian
terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri
ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi. Ahli psikologi
dari University of New Hampshire, John Mayer mengatakan bahwa kesadaran diri
berarti “waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana
hati” Sedangkan karakteristik perilakunya mengenal dan merasakan emosi sendiri, memahami
penyebab perasaan yang timbul, dan mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan (Syamsu Yusuf, 2005).
2) Mengelola
emosi
Kemampuan
untuk mengelola emosi berhubungan dengan menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan pas dimana kecakapan ini bergantung pada kecakapan kesadaran
diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam ketrampilan ini akan
terus-menerus bertarung melawan
perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh
lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. Sedangkan
karakteristik perilakunya bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu
mengelola amarah secara lebih baik, lebih mampu mengungkapkan amarah dengan
tepat tanpa berkelahi, dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri
sendiri dan orang lain, memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri,
sekolah dan keluarga, memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa
(stres), dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan
(Syamsu Yusuf, 2005).
3) Memotivasi diri sendiri
Bagaimana
kita termotivasi oleh perasaan antusiasme dan kepuasan pada apa yang kita
kerjakan − atau bahkan oleh kadar optimal kecemasan − emosi-emosi itulah
mendorong kita untuk berprestasi. Dan arti inilah kecerdasan emosional
merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara mendalam mempengaruhi semua
kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun menghambat kemampuan-kemampuan itu
(Daniel Goleman, 2004). Sedangkan karakteristik perilakunya menurut Syamsu
Yusuf adalah: memiliki rasa tanggung jawab, mampu memusatkan perhatian pada
tugas yang dikerjakan, dan mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif
(Syamsu Yusuf, 2005).
4) Mengenali
emosi orang lain
Ketrampilan
ini berhubungan dengan empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran
diri emosional, merupakan “ketrampilan bergaul”. Orang yang empatik lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa
yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Sedangkan karakteristik
perilakunya mampu menerima sudut pandang orang lain, memiliki sikap empati atau
kepekaan terhadap perasaan orang lain dan mampu mendengarkan orang lain (Syamsu
Yusuf, 2005).
5) Membina hubungan
Seni
membina hubungan, sebagian besar, merupakan ketrampilan mengelola emosi orang
lain. Ketrampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam ketrampilan ini akan sukses dalam
bidang apapun yang mengendalikan pergaulan
yang mulus dengan orang lain. Sedangkan karakteristik perilakunya adalah: memiliki pemahaman dan kemampuan
untuk menganalisa hubungan dengan orang lain, dapat menyelesaikan konflik
dengan orang lain, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, memiliki
sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya, memiliki sikap
tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain, memperhatikan kepentingan
sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok,
bersikap senang berbagai rasa dan bekerja sama, dan bersikap demokratis dalam
bergaul dengan orang lain (Syamsu Yusuf, 2005).
2.2.7
Macam Kecerdasan Emosional
Komponen
dasar kecerdasan emosional menurut Reuven Bar-On, dibagi menjadi lima bagian,
yaitu:
1)
Intrapersonal
Kemampuan
untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri yang melingkupi:
(1) Kesadaran diri
Merupakan
kemampuan untuk mengenali perasaan dan sejauh mana seseorang dapat merasakannya
serta berpengaruh pada perilaku terhadap orang lain. kemampuan ini meliputi:
mampu mengenal perasaan, mampu memilah perasaan, mampu memahami apa yang
dirasakan, mampu memahami alasan mengapa sesuatu itu dirasakan, mengetahui
penyebab munculnya perasaan, mampu menyadari perbuatannya, serta mampu
menyadari alasan mengapa melakukan sesuatu.
(2) Sikap asertif
Merupakan
kemampuan untuk menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan sendiri membela
diri dan mempertahankan pendapat. Kemampuan ini meliputi: mampu mengungkapkan
perasaan secara langsung, mampu menerima perasaan sendiri, mampu mengungkapkan
keyakinannya secara terbuka, mampu menyatakan ketidaksetujuan, mampu
mengungkapkan pendapat secara terbuka, mampu menyuarakan pendapat, mampu
bersikap tegas, mampu membela diri, mampu mempertahankan pendapat, mampu
mempertahankan hak-hak pribadi tanpa harus meninggalkan perasaan orang lain,
mampu peka terhadap kebutuhan orang lain serta mampu peka terhadap reaksi yang
diberikan oleh orang lain.
(3) Kemandirian
Merupakan
kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri. Kemampuan ini meliputi: mampu
mengarahkan pikiran dan tindakannya sendiri, mampu mengendalikan diri dalam
berfikir dan bertindak, mampu untuk tidak tergantung kepada orang lain secara
emosional, mampu mandiri dalam merencanakan sesuatu, mampu mengendalikan diri
sendiri dalam membuat suatu keputusan penting, mempunyai kepercayaan diri,
mempunyai kekuatan batin, mampu memenuhi harapan dan kewajiban, serta mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan pribadi.
(4) Penghargaan diri
Merupakan
kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan pribadi. Kemampuan ini
meliputi: mampu menghormati diri sendiri, mampu menerima diri sendiri sebagai
pribadi yang baik, mampu menyukai diri sendiri apa adanya, mampu mensyukuri
sisi negatif dan positif pada dirisendiri, mampu menerima keterbatasan diri sendiri
serta mampu memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
(5) Aktualisasi diri
Merupakan
kemampuan untuk mewujudkan potensi yang dimiliki dan puas dengan prestasi yang
diraih. Kemampuan ini meliputi: mampu mewujudkan potensi yang ada secara maksimal,
mampu berjuang meraih kehidupan yang bermakna, mampu membulatkan tekad untuk
meraih sasaran jangka panjang, merasa puas terhadap apa yang telah dilakukan
(Rizka Mufita, 2004).
2)
Interpersonal
Kemampuan
untuk bergaul dan berinteraksi secara baik dengan orang lain, yang meliputi:
(1) Empati
Merupakan
kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain. kemampuan ini meliputi:
mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, mampu menghargai perasaan dan
pikiran orang lain, mampu merasakan dan ikut memikirkan perasaan dan pikiran
orang lain, mampu peduli
terhadap orang lain, serta mampu memperhatikan minat dan kepentingan orang
lain.
(2) Tanggung jawab sosial
Merupakan
kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dan bermanfaat
bagi masyarakat. Kemampuan ini meliputi: mampu bekerja sama dalam masyarakat,
mampu berperan dalam masyarakat, mampu bertindak secara bertanggung jawab,
mampu melakukan sesuatu sesama dan untuk orang lain, mampu bertindak sesuai
dengan hati nurani, mampu menjunjung tinggi norma yang ada dalam masyarakat
serta memiliki kesadaran sosial dan sangat peduli kepada orang lain.
(3) Hubungan antar pribadi
Merupakan
kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling
menguntungkan yang ditandai oleh saling memberi dan menerima serta rasa
kedekatan emosional. Kemampuan ini meliputi: mampu memelihara persahabatan
dengan orang lain, mampu saling memberi dan menerima kasih sayang dengan orang
lain, mampu peduli terhadap
orang lain, mampu merasa tenang dan nyaman dalam berhubungan dengan orang lain
serta mampu memiliki harapan positif dalam interaksi sosial.
3)
Penyesuaian diri
Kemampuan
untuk bersikap lentur dan realistis dan untuk memecahkan aneka masalah yang
muncul ini
meliputi :
(1) Uji realitas
Merupakan
kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Kemampuan ini
meliputi: mampu menilai secara obyektif kejadian yang terjadi sebagaimana
adanya, mampu menyimak situasi yang ada dihadapan, mampu berkonsentrasi
terhadap situasi yang ada, mampu tidak
menarik diri dari dunia luar, mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang ada,
mampu memusatkan perhatian dalam menilai situasi yang ada, mampu bersikap
tenang dalam berfikir serta mampu menjelaskan persepsi secara obyektif.
(2) Fleksibel
Merupakan
kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan dengan situasi yang
berubah-ubah. Kemampuan ini meliputi: mampu beradaptasi dengan lingkungan
manapun, mampu bekerja sama secara sinergis, mampu menanggapi perubahan secara
luwes, serta mampu menerima perbedaan yang ada.
(3) Pemecahan masalah
Merupakan
kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan kemudian bertindak untuk mencari
dan menerapkan pemecahan yang tepat. Kemampuan ini meliputi: mampu memahami
masalah dan termotivasi untuk memecahkannya, mampu mengenali masalah, mampu
merumuskan masalah, mampu menemukan pemecahan masalah yang efektif, mampu
menerapkan alternatif pemecahan masalah, mampu menilai hasil penerapan
alternatif yang digunakan, mampu mengulang proses jika masalah belum
dipecahkan, mampu sistematik dalam menghadapi dan memandang masalah.
4)
Manajemen stres
Kemampuan
untuk tahan menghadapi stres dan mengendalikan impuls (dorongan), yang meliputi
:
(1) Ketahanan menanggung stres
Merupakan
kemampuan untuk tenang dan konsentrasi dan secara konstruktif bertahan
menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi.
Kemampuan ini meliputi: mampu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan,
mampu memilih tindakan dalam menghadapi stres, mampu bersikap optimis dalam
menghadapi pengalaman baru, optimis pada kemampuan sendiri dalam mengatasi
permasalahan, mampu mengendalikan perasaan (bersikap tenang dan terkendali)
dalam menghadapi stres, mampu tahan dalam menghadapi stres.
(2) Pengendalian impuls
Merupakan
kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak. Kemampuan ini
meliputi: mampu menolak dorongan untuk bertindak, mampu menampung impuls
agresif, mampu mengendalikan dorongan-dorongan untuk bertindak, serta mampu
mengendalikan perasaan.
5)
Suasana hati
Perasaan-perasaan
positif yang menumbuhkan kenyamanan dan kegairahan hidup yang mencangkup :
(1) Optimisme
Merupakan
kemampuan mempertahankan sikap positif yang realistis terutama dalam menghadapi
masa-masa sulit. Kemampuan ini meliputi: mampu melihat terang kehidupan, mampu
bersikap positif dalam kesulitan, mampu menaruh harapan dalam segala hal
termasuk ketika menghadapi permasalahan.
(2) Kebahagiaan
Merupakan
kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain dan
selalu bersemangat serta bergairah dalam melakukan setiap kegiatan. Kemampuan
ini meliputi: selalu bergairah dalam segala hal, mampu merasa puas dengan
kehidupan sendiri, mampu bergembira, serta mampu bersenang-senang dengan diri
sendiri maupun dengan orang lain. Di dalam penelitian ini menggunakan teori
kecerdasan emosional miliki Reuven Bar-On sebagai acuan dalam membuat skala
kecerdasan emosional. Namun tidak semua deskriptor digunakan dikarenakan tidak
memungkinkan untuk pemberian jumlah aitem yang banyak pada sampel.
2.2.8 Proses Fisiologis Kecerdasan Emosional
Joseph
LeDoux, seorang ahli saraf di Centre for Neural Science di New York University,
adalah orang pertama yang menemukan peran kunci amigdala dalam otak emosional.
Temuan-temuannya tentang jaringan otak emosional menumbangkan gagasan lama
tentang sistem limbik dengan menempatkan amigdala pada pusat tindakan dan
menempatkan struktur-struktur limbik lainnya pada peran yang amat berbeda.
Penelitian LeDoux menjelaskan bagaimana amigdala mampu mengambil alih kendali
apa yang kita kerjakan bahkan sewaktu otak yang berpikir, neokorteks, masih
menyusun keputusan. Sebagaimana akan kita lihat, fungsi-fungsi amigdala dan
pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional (Daniel Goleman,
2004).
LeDoux
mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi tempat istimewa bagi amigdala
sebagai penjaga emosi. Penelitian ini membuktikan bahwa sinyal-sinyal indra
dari mata atau telinga telah lebih dahulu berjalan di otak menuju talamus,
kemudian, melewati sebuah sinaps tunggal, menuju ke amigdala; sinyal kedua dari
talamus disalurkan ke neokorteks otak yang berpikir. Percabangan ini
memungkinkan amigdala mulai memberi respon sebelum neokorteks, yang mengolah
informasi melalui beberapa lapisan jaringan otak sebelum otak sepenuhnya
memahami dan pada akhirnya memulai respon yang telah diolah lebih dulu.
Penelitian LeDoux merupakan langkah revolusioner dalam usaha memahami kehidupan
emosional karena penelitiannya merupakan yang pertama mengamati jalur saraf
untuk perasaan yang melangkahi peran neokorteks. Perasaan yang mengambil jalan
pintas menuju amigdala mencangkup perasaan kita yang paling primitif dan
berpengaruh; sirkuit ini sangat bermanfaat untuk menjelaskan kekuatan emosi
yang mengalahkan rasionalitas. Pendapat konvensional dalam ilmu saraf
menyatakan bahwa mata, telinga, organ-organ pengindraan, di sana sinyal-sinyal
tadi disusun menjadi benda-benda yang kita pahami. Sinyal-sinyal itu
dipilah-pilah menurut maknanya sehingga otak mengenali masing-masing objek dan
arti kehadirannya. Menurut teori tersebut, dari neokorteks sinyal-sinyal itu
dikirim ke otak limbik, dan dari situ respon yang cocok direfleksikan melalui
otak dan bagian tubuh lainnya. Begitulah cara kerja otak pada umumnya. Tetapi LeDoux
menemukan satu berkas neokorteks yang lebih kecil menghubungkan talamus
langsung dengan amigdala. Selain neuron-neuron yang berada di saluran-neuron
yang lebih besar yang menuju korteks. Saluran yang lebih kecil dan lebih pendek
ini, mirip jalan pintas saraf, memungkinkan amigdala untuk menerima sejumlah
masukan langsung dari indra-indra dan memulai suatu respon sebelum
masukan-masukan itu terdata sepenuhnya oleh neokorteks. Penemuan ini
menumbangkan anggapan bahwa amigdala harus bergantung seluruhnya pada
sinyal-sinyal dari neokorteks untuk merumuskan reaksi emosionalnya. Amigdala
dapat memicu respon emosional melalui jalur darurat ini bahkan sewaktu sirkuit
getar pararel mulai bekerja antara amigdala dengan neokorteks. Amigdala dapat
membuat kita bertindak sementara neokorteks,
yang sedikit lebih lambat tetapi lebih lengkap informasinya, menggelar rencana
tindakan yang lebih tepat. Amigdala merupakan tujuan utama sinyal-sinyal ini
dikirim ke otak, sinyal-sinyal itu menggiatkan neuron-neuron di dalam amigdala
untuk memberi sinyal ke wilayah-wilayah lain di otak guna memperkuat ingatan
tentang apa yang sedang terjadi. Perangsangan amigdala ini tampaknya
membekaskan sebagian besar rangsangan emosional ke dalam ingatan dengan kadar
kekuatan yang lebih besar. Itulah sebabnya kita lebih cenderung, misalnya
mengingat ke mana kita pergi waktu kencan pertama, atau apa yang kita lakukan
ketika mendengar berita bahwa (Daniel Goleman, 2004).
Pesawat
ruang angkasa ulang-alik Challenger meledak. Semakin besar intensitas
perangsangan amigdala, semakin kuat bekas ingatannya; pengalaman paling
menakutkan atau mengerikan dalam hidup kita merupakan ingatan-ingatan yang
paling sukar dihapus. Pendek kata, ini berarti bahwa otak mempunyai dua sistem
ingatan, satu untuk kejadian-kejadian biasa dan satu untuk kejadian-kejadian
yang penuh dengan muatan emosi (Daniel Goleman, 2004).
2.2.9
Karakteristik Kecerdasan Emosional
1) Kecerdasan
emosional tinggi:
(1) Percaya
kepada hak dan martabat semua manusia
(2) Tidak
memaksakan nilai-nilai terhadap sesamanya melainkan merasa bahwa semua orang
hendaknya menghormati hak-hak sesamanya
(3) Mempunyai
kesadaran diri yang mantap dan dapat berfungsi otonom di masa-masa kecemasan
meningkat
(4) Mampu
memotivasi diri dan menunda kenikmatan
(5) Mempunyai
hubungan-hubungan pribadi yang memuaskan
(6) Mampu
menangani berbagai situasi manusia dengan sukses
2.
Kecerdasan emosional cukup tinggi:
(1) Menjadi
warga yang baik, yang bertanggung jawab
(2) Berupaya
memelihara harga diri
(3) Telah
mengembangkan kesadaran diri yang cukup tetapi bisa rentan terhadap emosi dan
kecemasan dalam suatu situasi
(4)
Tingkat motivasi cukup tinggi, sanggup
menunda kenikmatan
(5) Hubungan-hubungan
pribadi yang cukup memuaskan
(6) Sanggup
menangani sebagian besar situasi manusia
3)
Kecerdasan emosional agak rendah:
(1) Banyak
dipengaruhi oleh apa kata orang dan cenderung mengarahkan energi kehidupan ke
sana daripada ke sasaran pribadi
(2) Lebih
rela memaafkan daripada yang lebih rendah tingkatannya
(3) Ketika
kecemasan rendah, bisa berfungsi baik, tetapi akan merosot ketika kecemasan
lebih tinggi
(4) Harga
diri tergantung pada orang lain
(5) Kurang
kesadaran diri yang mantap
(6) Kepuasan
hubungan-hubungan agak rendah
4)
Kecerdasan emosional rendah:
(1) Bersikap
“apa untungnya bagi saya”
(2) Kesadaran
diri yang kurang berkembang
(3) Sasaran
kurang didefinisikan dan tidak ada rencana untuk mencapainya
(4) Menjalin
hubungan yang saling tergantung
(5) Kurang
mampu mempertahankan hubungan-hubungan
(6) Membuang
banyak energi untuk menghindari kecemasan
(7) Gaya
hidup kacau
(8) Tidak
bertanggung jawab atas perbuatannya, menyalahkan yang di luar dirinya (Jeanne
Anne Craig, 2004).
2.2.10 Manfaat Kecerdasan
Emosional
Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk
mengendalikan diri, tetapi lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam
mengelola ide, konsep, karya, atau produk, sehingga hal itu menjadi minat bagi
orang banyak. Sebuah konsep atau karya yang bagus, tanpa adanya manajemen
pemasaran yang baik mungkin saja konsep atau produk tersebut tidak sampai pada
khalayak. Tetapi dengan kemampuan mengekspresikan ide dan pemasarannya,
memungkinkan ide tersebut bisa dimanfaatkan dan dinikmati oleh orang banyak.
Ada banyak keuntungan bila seseorang memiliki kecerdasan emosional secara
memadai. Pertama, kecerdasan emosional jelas mampu menjadi alat untuk
pengendalian diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke dalam
tindakantindakan bodoh, yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
kedua, kecerdasan emosional bisa diimplementasikan sebagai cara yang sangat
baik untuk memasarkan atau membesarkan ide, konsep atau bahkan sebuah produk.
Dengan pemahaman tentang diri, kecerdasan emosional, juga cara terbaik
membangun lobby, jaringan kerja sama. Ketiga, kecerdasan emosional
adalah modal penting bagi seseorang untuk mengembangkan bakat kepemimpinan
dalam bidang apapun. Mengapa demikian? Karena setiap model kepemimpinan, sesungguhnya membutuhkan visi,
misi, konsep, program dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan
partisipasi dari para anggota. Dengan bekal kecerdasan emosional tersebut,
seseorang akan mampu mendeterminasi kesadaran setiap orang, untuk mendapatkan
simpati dan dukungan serta kebersamaan dalam melaksanakan atau
mengimplementasikan sebuah ide atau cita-cita (Suharsono, 2005).
Dalam bidang kesehatan, terdapat nilai medis yang lebih bila
dokter dan perawat mau berempati, mau menyesuaikan diri dengan
pasien-pasiennya, mau menjadi pendengar yang baik. Ini berarti mengembangkan
“perawatan yang berpusat pada hubungan”, mengakui bahwa hubungan antara dokter
dan pasien itu sendiri merupakan faktor penting. Hubungan semacam itu akan
lebih mudah ditingkatkan
apabila pendidikan ilmu kedokteran memasukkan beberapa perangkat dasar
kecerdasan emosional, terutama kesadaran diri dan seni berempati dan seni
mendengarkan (Daniel Goleman, 2004).
Beberapa
program yang paling berhasil dalam ketrampilan emosional telah dikembangkan
untuk menanggapi masalah tertentu, terutama tindak kekerasan. Salah satu kursus
yang paling cepat berkembang di bidang ketrampilan emosional yang diilhami
untuk pencegahan ini adalah Resolving Conflict Creatively Program,
yang diselenggarakan di beberapa ratusan sekolah negeri di New York dan
sekolah-sekolah di seluruh negeri (Daniel goleman, 2004) Bila menyangkut
masalah merencanakan campur tangan yang bisa menolong anak-anak semacam ini
keluar dari jalan menuju tindak kekerasan dan kejahatan, hasilnya adalah,
sekali lagi, sebuah program ketrampilan emosional. Pelajaran ini sangat bermanfaat bagi
semua anak. Pelajaran tentang kesadaran emosional termasuk bagaimana memantau apa
yang mereka rasakan dan yang dirasakan oleh orang di sekitar mereka, dan–yang
paling penting bagi anak yang cenderung agresif–bagaimana mengenali kapan
seseorang itu sungguh-sungguh bermusuhan, sebagai lawan terhadap kapan sifat
bermusuhan itu muncul dari dirinya sendiri (Daniel Goleman, 2004).
Setidaknya,
ada 11 hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kecerdasan emosional yang
dipadukan dengan kecerdasan spiritual, antara lain (Daniel goleman, 2004).
1) Kemampuan
untuk mengerti dan memahami perasaan diri sendiri
2) Kemampuan
untuk mengerti dan memahami perasaan orang lain
3) Kemampuan
untuk berempati dengan orang lain
4) Kemampuan
untuk mengarahkan perasaan sesuai dengan kehendak hati nurani
5) Kemampuan
mensucikan perasaan
6) Kemampuan
untuk menggerakkan perasaan pada perilaku yang positif
7) Kemampuan
untuk mengendalikan perasaan yang negatif
8) Kemampuan
untuk selalu berpegang pada keadilan dan kebenaran
9) Kemampuan
untuk selalu rela dan ikhlas dengan takdir Allah
10) Kemampuan
untuk selalu bergantung kepada kehendak Allah
11) Kemampuan
untuk menjadikan cinta Illahi sebagai puncak dari segala tujuan dalam kehidupan.
2.3
Konsep Kesulitan Belajar
2.3.1.
Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan
belajar merupakan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai dengan
hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar yang dapat disebabkan
oleh faktor intern dan faktor ekstern siswa maupun faktor-faktor khusus
lainnya. Proses belajar akan ditandai dengan kesulitan dalam penyelesaian
tugas-tugas akademik sehingga prestasi belajar akan ditandai dengan kesulitan
dalam bidang akademik yang mencakup membaca, menulis, berhitung, maupun
kesulitan yang berhubungan dengan perkembangan yang meliputi gangguan persepsi, kognisi, motorik, perkembangan
bahasa dan kesulitan penyesuaian
perilaku. Fenomena
kesulitan belajar pada siswa biasanya nampak jelas dari menurunnya kinerja
akademik atau prestasi belajarnya. Kesulitan belajar ini dapat dibuktikan
dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan
berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk
kelas, dan sering minggat dari sekolah (Muhibbin Syah, 2005).
Definisi
kesulitan belajar menurut the National Joint Committee Learning Disabilities (NJCLD) yaitu
sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan nyata dalam
kemahiran dan penggunaan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang matematika. Gangguan tersebut
intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat.
Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi lain
yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan
emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran
yang tidak tepat, faktorfaktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan
penyebab atau pengaruh langsung (Mulyono Abdurrahman, 2003).
Namun,
the Board of the Association for Children and Adult with Learning Disabilities (ACALD) tidak
menyetujui definisi yang dikeluarkan oleh NJCLD. ACALD mengemukakan definisi
sebagai berikut: kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang
diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan,
integrasi dan/atau kemampuan verbal dan atau kemampuan nonverbal. Kondisi
belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada
orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior, yang memiliki
sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk
belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan
dan derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada harga diri, pendidikan,
pekerjaan sosialisasi dan atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang
kehidupan (Mulyono Abdurrahman, 2003). Di
Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan belajar. Para guru
umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi belajar rendah disebut
siswa berkesulitan.
2.3.2.
Karakteristik Siswa Berkesulitan Belajar
Seperti
yang telah dijelaskan, siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang
tidak dapat belajar secara wajar disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun
gangguan dalam belajar, sehingga menampakkan gejala-gejala yang bisa diamati
oleh orang lain, guru, atau orangtua.
Beberapa gejala sebagai
indikator
adanya kesulitan belajar siswa dapat dilihat dari petunjuk-petunjuk
berikut:
1) Menunjukkan
prestasi belajar yang rendah, di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh
kelompok siswa di kelas.
2) Hasil
belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Padahal siswa
sudah berusaha belajar dengan keras, tetapi nilainya selalu rendah.
3) Siswa
lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan
kawan-kawannya dalam segala hal. Misalnya mengerjakan soal-soal dalam waktu lama baru selesai,
dalam mengerjakan tugas-tugas selalu menunda waktu.
4) Siswa
menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, berpura-pura,
berdusta, mudah tersinggung, dan sebagainya. e. Siswa menunjukkan tingkah laku
yang tidak seperti biasanya ditunjukkan kepada orang lain. Dalam hal ini
misalnya siswa menjadi pemurung, pemarah,
selalu bingung, selalu sedih, kurang gembira, atau mengasingkan diri dari
kawan-kawan sepermainan.
5) Siswa
yang tergolong memiliki IQ tinggi, secara potensial mereka seharusnya meraih
prestasi belajar yang tinggi, tetapi kenyataannya mereka mendapatkan prestasi
belajar yang rendah.
6) Anak
didik yang selalu menunjukkan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian besar
mata pelajaran, tetapi di lain waktu prestasi belajarnya menurun drastis
(Syaiful Bahri Djamarah, 2003).
Untuk
menandai individu yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan suatu
patokan untuk menetapkan gejala kesulitan belajar itu sendiri. Dengan patokan
ini akan dapat ditentukan batas di mana individu itu dapat diperkirakan
mengalami kesulitan belajar. Kemajuan belajar individu dapat dilihat dari segi
tujuan yang harus dicapai, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan
potensinya, kedudukan dalam kelompok yang memiliki potensi yang sama dan dapat dilihat dari
kepribadiannya. Adapun patokan gejala kesulitan belajar adalah sebagai berikut
(Ani Mila Krisdiana, 2005).
1) Tingkat pencapaian tujuan
Tujuan
pendidikan nasional di Indonesia telah dirumuskan secara formal dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 secara formal dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
II Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk berkembangnya
potensi siswa agar menjadi manusia, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (M. Djumransyah, 2004).
tujuan institusional yang merupakan tujuan kelembagaan. Dari tujuan institusional tersebut, dijabarkan lagi
menjadi tujuan kurikulum yang diwujudkan dalam rencana pelajaran yang
mengandung ketentuan pokok dari kelompok-kelompok pengetahuan. Tujuan kurikuler
dijabarkan lagi menjadi tujuan instruksional yaitu perubahan sikap atau tingkah
laku yang diharapkan setelah murid mengikuti program pengajaran. Kegiatan
pendidikan khususnya kegiatan belajar dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Mereka yang dianggap berhasil adalah yang dapat mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan kriteria ini, maka siswa yang mendapatkan
hambatan dalam mencapai tujuan atau siswa yang tidak dapat mencapai tujuan
diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
2) Perbandingan antara potensi dengan prestasi
Prestasi
belajar yang dicapai seorang siswa tergantung dari tingkat potensinya baik yang
berupa bakat dan kecerdasan. Anak yang memiliki potensi tinggi cenderung dapat
memperoleh prestasi yang lebih tinggi pula, dan sebaliknya. Dengan
membandingkan antara potensi dan prestasi yang dicapai dapat diperkirakan
sampai sejauh mana siswa dapat mewujudkan potensinya. Siswa yang mengalami
kesulitan belajar ialah jika terdapat perbedaan yang besar antara potensi
dengan prestasinya.
3) Kedudukan
dalam kelompok
Kedudukan
seseorang dalam kelompoknya akan merupakan ukuran dalam pencapaian hasil
belajar. Seorang siswa yang mendapat nilai 8 mungkin akan dianggap terpandai
jika murid lainnya dianggap kurang. Secara statistik, siswa diperkirakan
mengalami kesulitan belajar jika menduduki
urutan paling bawah dalam kelompoknya. Melalui teknik ini guru dapat
mengurutkan seluruh siswa berdasarkan nilai yang dicapainya mulai dari nilai
yang terendah, sehingga setiap siswa nomor urut prestasi (rangking).
4) Tingkah laku yang tampak
Hasil
belajar dapat dicapai oleh seorang siswa akan nampak dalam tingkah lakunya.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menunjukkan tingkah laku yang
menyimpang, misalnya sikap acuh tak acuh, melalaikan tugas, menantang,
membolos, menyendiri, dusta, kurang motivasi serta gangguan emosional lainnya.
2.3.3
Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar
Secara
garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar pada siswa
terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Faktor endogen, yakin semua faktor yang
berada dalam diri siswa. Faktor endogen dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor
fisik dan faktor psikis.
1) Faktor fisik
Faktor
fisik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain faktor kesehatan.
Misalnya anak yang kurang sehat, kurang gizi dengan sendirinya daya tangkap dan
kemampuan belajarnya akan kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Faktor
lain adalah cacat, misalnya bisu, tuli sejak lahir, atau menderita epilepsi
bawaan dan gegar otak karena jatuh.
2) Faktor psikis
Pada
faktor psikis ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian yang sangat mempengaruhi
kesulitan belajar pada siswa, antara lain:
(1) Intelegensi.
Setiap
orang memiliki intelegensi yang berbeda-beda. Ada yang pandai ada yang sedang
dan ada pula yang bodoh, sehingga dalam menangkap pelajaran pun tiap orang
berbeda-beda, ada cepat dan ada yang lambat. Pada anak yang memiliki kemampuan
tinggi tidak berarti anak ini pasti tidak akan mengalami kesulitan dalam
belajar. Kemungkinan kesulitan belajar tetap ada karena anak terlalu menganggap
mudah pelajaran-pelajaran di sekolah sehingga ia segan untuk belajar dan
mungkin di dalam kelas ia kurang memperhatikan guru, sering mengganggu temannya
dan suka berbicara (M. Djumransyah, 2004).
(2) Perhatian.
Bagi
seorang anak mempelajari sesuatu hal yang menarik perhatian itu akan lebih
mudah diterima daripada mempelajari hal yang tidak menarik perhatian. Ada pula
anak yang perhatiannya sulit untuk dipusatkan pada suatu persoalan dan yang
mudah untuk dipusatkan pada suatu persoalan.
(3) Bakat.
Bakat
setiap anak berbeda-beda. Seorang anak yang berbakat musik akan lebih cepat
mempelajari musik tersebut. Orang tua kadang-kadang tidak memperhatikan faktor
bakat ini. Sering anak diarahkan sesuai dengan kemajuan orangtuanya. Akibatnya
bagi anak, sekolah dirasakan sebagai suatu beban, tekanan, dan nilai-nilai yang
didapat anak buruk serta tidak ada kemajuan lagi untuk belajar.
(4) Minat.
Minat
merupakan pendorong ke arah keberhasilan seseorang. Seorang yang menaruh minat
pada sesuatu bidang akan mudah mempelajari bidang itu.
(5) Emosi.
Kematangan
emosi pada anak berbeda-beda. Ada anak yang emosinya labil dan ada pula yang
tidak. Anak yang tidak dapat mengendalikan emosinya, akan mengalami kesulitan
dalam belajarnya.
(6) Kepribadian.
Faktor
ini amat mempengaruhi keadaan anak. Fase perkembangan seseorang tidak selalu
sama. Dalam proses pembentukan kepribadian tersebut ada beberapa fase yang
harus dilalui. Seorang anak yang belum mencapai suatu fase tertentu akan
mengalami kesulitan apabila anak tersebut diharuskan melakukan halhal yang
terjadi pada fase berikutnya.
(7) Gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian
lainnya.
Misalnya psikosomatis, psikotis, dan lain
sebagainya (M. Djumransyah,
2004). Faktor
intern pada diri siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik
siswa, yakni: a) Yang
bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/ intelegensi siswa. b) Yang
bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap, c) Yang bersifat psikomotor (ranah karsa),
antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran
(mata dan telinga)
(Muhibbin Syah, 2005).
3.
Faktor eksogen, yakin semua faktor yang berada di luar diri anak.
1)
Faktor keluarga
(1) Cara
mendidik anak. Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik. Ada yang
mendidik secara militer, ada yang demokratis, dan ada keluarga yang acuh tak
acuh dengan pendapat setiap anggota keluarga. Hal ini berpengaruh pada
kepribadian siswa.
(2) Hubungan
dengan orangtua. Dalam membentuk hubungan antara anak dan orangtua setiap
keluarga menerapkan caranya sendiri-sendiri sehingga menghasilkan pendidikan
anak yang berbeda pula. Dari hubungan orangtua dan anak yang bermacam-macam ini
timbullah cara pengontrolan orangtua terhadap anak yang bermacam-macam pula.
(3) Sikap
orangtua. Hal ini tidak dapat kita hindari, karena secara tidak langsung anak
adalah gambaran dari orangtuanya. Jadi, sikap orangtua juga menjadi contoh bagi
anak.
(4) Ekonomi
keluarga. Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu
rumah tangga. Keharmonisan hubungan antar orangtua dan anak kadang-kadang tidak
dapat terlepas dari faktor
ekonomi ini. Begitu pula faktor keberhasilan seseorang. Pada keluarga dengan
ekonominya kurang mungkin dapat menyebabkan anak kekurangan gizi, kebutuhan
anak tidak terpenuhi, suasana rumah menjadi tidak menyenangkan sehingga tidak
adanya gairah untuk belajar. Tetapi hal ini tidak mutlak demikian.
(5) Suasana
dalam keluarga. Suasana rumah juga berpengaruh dalam membantu belajar bagi
anak. Apabila suasana rumah itu selalu gaduh, tegang, sering ribut dan
bertengkar, akibatnya anak tidak dapat belajar dengan baik, karena belajar
membutuhkan ketenangan dan konsentrasi (Singgih D, Gunarsa, 2004).
2)
Faktor sekolah.
Terdapat
faktor penyajian pelajaran, faktor hubungan antara guru dan murid, faktor
kemampuan anak, faktor keadaan gedung sekolah yang memenuhi syarat, dan
kedisiplinan sekolah dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Mahfudh
menambahkan faktor lain dalam lingkungan sekolah yang mempengaruhi kesulitan
belajar antara lain, hubungan antar murid, standar pelajaran di atas ukuran,
media pendidikan, kurikulum, waktu sekolah, metode belajar dan pekerjaan rumah.
3)
Faktor lingkungan dimana anak tersebut berada.
(1) Faktor
media massa. Yang termasuk dalam hal ini semua alat-alat media massa, buku-buku,
film, video, kaset
dan sebagainya.
(2) Faktor
teman bergaul dan aktivitas dalam masyarakat.
(3) Tipe dari keluarga. Termasuk di dalamnya keluarga
yang orangtuanya berpendidikan tinggi atau kurang tinggi, usahawan atau
karyawan, dan lain sebagainya.
(4) Faktor
kegiatan dalam masyarakat (karang taruna, olah raga, dan lain sebagainya) dan
faktor pola hidup lingkungan/tetangga.
4).
Cara belajar siswa.
Yang
dimaksud dengan cara belajar pada siswa yaitu yang menyangkut cara pembagian
waktu belajar, cara belajar yang salah, waktu istirahat, tugas di rumah yang
terlalu banyak. Faktor
ekstern yang mempengaruhi kesulitan belajar siswa ada tiga macam, yaitu:
(1) Lingkungan
keluarga, contohnya: ketidaharmonisan hubungan antara ayah dan ibu dan
rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
(2) Lingkungan
perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area),
dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
(3) Lingkungan
sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat
pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah (Muhibbin
Syah, 2005).
Faktor kesulitan belajar dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa
kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan faktor eksternal antara lain
berupa strategi pembelajaran yang keliru,
pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar siswa,
dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat
(Mulyono Abdurrahman, 2003)
Selain
faktor-faktor yang bersifat umum tersebut, ada pula faktor-faktor lain yang
juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antara faktorfaktor yang dapat
dipandang sebagai faktor-faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning
disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom yang berarti satuan gejala
yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan
yang dapat menyebabkan kesulitan belajar tersebut, antara lain:
1. Disleksia
(dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca
2. Disgrafia
(dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis
3. Diskalkulia
(dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan
tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya
memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan
di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita
sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain
dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Muhibbin Syah, 2005).
2.4 Kerangka Konsep
Keterangan:
: Yang diteliti
:
Yang tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dengan Kecerdasan Emosional Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengan Kabupaten Lamongan.
Dari objek pengindraan terdapat penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, raba, yang dapat menghasilkan pengetahuan. Dari
kecerdasan emosional berada di dalam kecerdasan pribadi yang terdiri dari
kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi. Dari tingkat pengetahuan
dengan kecerdasan emosional dapat dihubungkan dari kesulitan proses belajar
yang dapat mempengaruhi kesulitan dalam belajar siswa.
2.5 Hipotesis Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2010), hipotesis adalah
suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah.
H1: Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kecerdasan
emosional dalam mengatasi kesulitan belajar mengajar pada siswa di SMA
Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan.
BAB 3
METODE
PENELITIAN
Dalam
bab ini akan dibahas tentang : (1) Desain Penelitian,
(2) Tempat dan Waktu Penelitian, (3) Kerangka Kerja,
(4) Identifikasi Variabel, (5) Populasi, Sampel, Sampling, (6) Definisi Operasional, (7) Pengumpulan Data dan Analisa dan (8) Etika Penelitian.
3.1 Desain Penelitian
Desain
penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk
menjawab pertanyaan dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul
selama proses penelitian (Nursalam, 2008).
Desain Penelitian yang digunakan
adalah Analitik Observasional dengan pendekatan metode Cross Sectional
dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen
dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak
lanjut. Tentunya tidak semua obyek penelitian harus diobservasi pada hari atau
pada waktu yang sama, akan tetapi baik variabel independen maupun variabel dependen dinilai hanya satu kali
saja (Nursalam, 2008).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan tepatnya di kelas X. Dan dilaksanakan pada bulan Februari-Maret
2013.
3.3
Kerangka
Kerja
Kerangka kerja dalam penelitian ini
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka
kerja hubungan tingkat
pengetahuan dengan kecerdasan emosional dalam mengatasi kesulitan belajar
sisawa di Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan, bulan Februari – Maret 2013
3.3
Identifikasi
Variabel
1) Variabel independen
Variabel
adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu
(benda, manusia, dan lain- lain). Ciri yang dimiliki oleh anggota suatu
kelompok (orang, benda, situasi) berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
tersebut. Dalam riset, variabel dikarakteristikan sebagai derajat, jumlah dan
perbedaan. Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level
abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau
manipulasi suatu penelitian (Nursalam. 2008).
Variabel independen (bebas) adalah
variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen
(terikat). Jadi variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi
(Sugiyono, 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi Variabel independen (bebas)
adalah “tingkat pengetahuan”.
2)
Variabel dependen
Variabel dependen
(terikat) variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel independen (bebas) (Sugiyono, 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi
Variabel dependen (terikat) adalah “kecerdasan emosional”.
3.4 Definisi Operasional
Definisi
operasional variabel adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dan sesuatu yang merupakan
fungsi definisi operasional (Nursalam, 2008).
Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan tingkat pengetahuan
dengan kecerdasan emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa di SMA
Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan
2013.
3.3
Populasi,
Sampel, dan Sampling
3.3.1
Populasi
Populasi
adalah subyek misalnya manusia atau klien yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Nursalam, 2008). Sedangkan
menurut wasis (2008) populasi adalah keseluruhan subyek yang akan diteliti.
Populasi pada peneliti ini adalah Seluruh siswa yang mempunyai
kesulitan belajar pada siswa kelas 10 di SMA khozainul ulum kecamatan
kalitengah kabupaten lamongan pada bulan Februari-Maret 2013.
3.3.2 Sampling
Sampling
adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasai
(Nursalam, 2008). Sampling yang digunakan dalam penelitian (acak) (Nursalam,
2008). Caranya responden sebanyak 36 diminta untuk mengisi lembar kuesioner,
selanjutnya kuesioner diacak atau diundi oleh peneliti sampai peneliti
memperoleh sampel yang diharapkan sebanyak 33. Peneliti melakukan kcara ini
karena untuk menjaga etika dalam penelitian.
3.3.3
Sampel
Sampel
adalah seluruh dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2006). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sebagian siswa yang mempunyai kesulitan belajar pada siswa kela 10 di
SMA khozainul ulum kecamatan kalitengah kabupaten lamongan pada bulan
Februari-Maret 2013 yang memenuhi kriteria inklusi.
Menurut Zainudin M yang dikutip Nursalam
(2008), penentuan besar sampel dalam penelitian dapat menggunakan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
n : Perkiraan jumlah sampel
N : Perkiraan
besar populasi
Z : Nilai
standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p : Perkiraan proporsi
q :
1-p
d :
Tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05 )
Diketahui
N : 36 q : 0,5
d : 0.05 n :
33
p : 0.5
1. Kriteria Inklusi
Kriteria
inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target
yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2008). Kriteria Inklusi dalam
penelitian ini adalah:
1)
Bersedia menjadi responden aktif
2)
Siswa yang
bersekolah di SMA khozainul ulum Kecamatan kalitengah kabupaten Lamongan
3)
Siswa yang
mengalami kesulitan belajar
Kriteria
Eksklusi. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan
subyek yang mengalami kriteria
ekslusi dari suatu studi karena barbagai sebab (Nursalam, 2008). Kriteria
eksklusi dalam penelitian ini adalah: Siswa yang tidak mengalami kesulitan dalam belajar.
3.3 Pengumpulan Data Dan Analisa Data
Pengumpulan
data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses pengumpulan
karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008)
3.7.1 Proses pengumpulan data
Dalam
sebuah penelitan pastinya melewati beberapa tahapan. Dalam penelitian ini
sebagai tahap awal peneliti mengajukan surat permohonan ke Ketua STIKES Muhammadiyah Lamongan sebagai
syarat untuk menyusun proposal penelitian. Ketua STIKES membuat surat izin yang dapat digunakan melakukan survey awal. Surat
langsung dikirim ke tempat tujuan penelitian yaitu di SMA Khozainul Ulum Kecamatan kalitengah kabupaten
lamongan, dengan tujuan
untuk mendapatkan surat ijin dari Kepala sekolah di SMA Khozainul Ulum Kecamatan kalitengah kabupaten lamongan, untuk melakukan survey awal.
Dengan demikian penelitian dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya dengan melakukan
pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
peneliti datang ke sekolah
SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan. Peneliti akan
menjelaskan kepada responden maksud dan tujuan penelitian serta meminta
persetujuan dengan cara menandatangani lembar persetujuan (informent consent).
Selanjutnya peneliti memberikan lembar kuesioner untuk responden agar dapat
mengisi secara tertutup dan di isi
secara benar tanpa ada kebohongan. Hasil dari pengisian lembar kuesioner ditabulasi
dan dianalisa.
3.7.2 Instrumen
Instrument
penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah (Suharsimi,
2006)
Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada
penelitian ini adalah melalui pengisian kuesioner secara lengkap, benar, tanpa
ada kebohongan.
3.7.3 Tekhnik Analisa Data
Setelah
data terkumpul kemudian diberikan kode pada semua data hasil observasi dari Kuesioner, peneliti menganalisa hubungan tingkat pengetahuan dengan kecerdasan
emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa di SMA
Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan.
Data yang diperoleh diproses dengan cara :
1)
Editing
Untuk mempermudah penilaian dan
pengecekan apakah semua data yang diperlukan untuk menguji hipotesis dan
mencapai tujuan penelitian itu sudah lengkap, akan dilakukan seleksi data atau
proses editing
2) Coding
merupakan
kegiatan pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori (Aziz Alimul, 2007).
3) Scoring
Skoring adalah pemberian skor atau nilai pada jawaban responden, jawaban yang
memiliki skor tertinggi dari pertanyaan tingkat pengetahuan dan kecerdasan
emosional.
(1) Tingkat Pengetahuan
Pertanyaan
positif dari tingkat pengetahuan jawaban “benar” nilai 1, bila “salah” nilai 0.
Pertanyaan negatif jawaban “benar” nilai 0, bila “salah” nilai 1. Jumlah skor
dikategorikan Pengetahuan kurang: < 55%, Pengetahuan cukup: 56-75%,
Pengetahuan baik: 76-100%.
(2) Kecerdasan Emosional
Jumlah skor dikategorikan Kecerdasan emosional tinggi : < 54% = < 16,
Kecerdasan emosional sedang : 56-74% = 17 – 22, Kecerdasan emosional rendah :
76-100% = 23 – 30.
4) Tabulating: Tabulating
merupakan upaya mengelompokkan data ke dalam suatu tabel sesuai dengan kriteria
yang telah ditemukan (Aziz Alimul, 2007). Selanjutnya data dibuat berdasarkan tujuan
penelitian. Hasil pengkodean dimasukkan kedalam tabel distribusi yang dikonfirmasikan dalam bentuk prosentase dan narasi kemudian
dilakukan tabulasi silang untuk menghubungkan antara variabel independent dan
variabel dependent.
Setelah data terkumpul melalui kuesioner kemudian diprosentasikan
dengan menggunakan rumus (Hidayat, 2010:37) adalah sebagai berikut:
Keterangan :
N = Prosentasi
Sp = Skor yang diperoleh
Sm = Skor maksimal
Hasil prosentase tersebut dapat diinterpretasikan dengan menggunakan
kriteria kualitatif sebagai berikut :
1.
90-100% = mayoritas
2.
66-89% = sebagian besar
3.
51-65% =
lebih dari sebagian
4. 50% = sebagian
5. <50% = kurang dari sebagian
(Nursalam, 2003).
5) Analisa Data: Data
yang sudah terkumpul diolah dan diidentifikasi, kemudian untuk pengujian
masalah penelitian menggunakan Spearman Rank (Rho). untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dengan tingkat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan menggunakan sistem Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 16.0 for windows maka HI diterima artinya terdapat hubungan tingkat
pengetahuan dengan kecerdasan emosional dalam mengatasi kesulitan belajar siswa
di SMA Khozainul Ulum Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan
3.8 Etika Penelitian
Sebelum
melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan untuk mendapatkan
rekomendasi dari STIKES Muhammadiyah Lamongan dan permohonan izin kepada pihak
terkait. Dan dalam melakukan penelitian terhadap responden, peneliti memperhatikan
masalah etika di bawah ini (Aziz
Alimul, 2007).
3.8.1 Informed Consent atau Lembar Persetujuan Menjadi
Responden
Informed
Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed Consent tersebut
diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden (Aziz
Alimul, 2007).
Tujuan
Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti
harus menghormati hak perawat. Beberapa informasi yang harus ada dalam informed
consent tersebut antara lain: partisipasi responden, tujuan dilakukannya
tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial
masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasian, informasi yang mudah dihubungi,
dan lain-lain (Aziz
Alimul, 2007).
3.8.2 Anonimity atau
Tanpa Nama
Masalah
etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan
subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencatumkan nama responden
pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data
atau hasil penelitian yang akan disajikan (Aziz Alimul, 2007).
3.8.3
Confidentiality atau Kerahasiaan
Masalah ini merupakan masalah etika
dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset (Aziz Alimul, 2007).
0 comments:
Posting Komentar